Ilusi dan Imajinasi Kampus Fiksi - Catatan Perjalanan KF Spesial Semarang
foto bersama Pak Edi (Beliau Pegang Buku Sekawanan Gagak di Jurang Babi Yar) |
Ilusi dan Imajinasi Kampus Fiksi
(Catatan Perjalanan Dua Batang Kara di Jalan Sriwijaya)
Perihal ‘Tidak ada yang baru di bawah matahari’ saya tidak sepenuhnya percaya. Mungkin dalam beberapa hal dibenarkan dan dalam kasus lain bertolak belakang. Dan saya berada pada titik nadir kedua.
Sebut saja pengalaman. Bahkan, jika kita sadar, langkah kaki satu dengan yang lain tidaklah sama. Dalam detik berbeda, jarak berbeda, atau mungkin tujuan yang berbeda. Memang, firstishardest (yang pertama yang berkesan) termasuk dalam ranah ehem-ehem (langsung mikir apa?). Tapi, tidak berarti dua kali, ketiga kali bisa di sebut usang, kan?
Dalam kasus ini, sebutlah sedikit catatan perjalanan yang kemungkinan besar tidak begitu penting. Hanya saja, bukan berarti yang tidak begitu penting pantas dibuang/ dilupakan (bayangin mantan).
Sebelumnya terimakasih pada:
- Yang maha kuasa
- Ibu dan bapak
- Jalan yang tidak terlalu macet
- Dan Google maps (tanpanya saya buta -alay)
13 November 2016 adalah hari yang ditunggu-tunggu. Bukan arisan PKK, pacar baru atau menunggu uang desember-an. Sebab pada hari itu hari di mana (sejarah baru akan dimulai) acara Kampus Fiksi Spesial Semarang digelar. Yeah!
Beruntunglah pagi sangat cerah. Awan-awan tak ubahnya balon-balon asimetris di langit. Walaupun dalam beberapa titik ada genangan banjir. Semangat kita tetap berapi-api kok. Mengingat perjalanan ini jauh, detail cerita tidak akan diceritakan di sini. Kalian pasti tahulah ini sekadar catatan kecil. Bukan novel religi atau sejarah, yang menghabiskan beratus-ratus lembaran kertas hingga menyita banyak waktu kalian. Saya tidak mau.
Dan yang terpenting, dalam perjalanan ini saya bersama seorang kawan perempuan. Panggil saja Miss Nay (prok … prok … prok …). Nay bukan judul film dari Djenar Maesa atau cerpen dari penulis yang sama. Tapi, jangan salah. Nay seakan mempunyai mantra-mantra ajaib yang telah melempar saya jauh—melewati getaran gelombang elektromagnetik. Sehingga tanpa terasa sudah sampai di gedung wanita. Semacam abacadabra, Bomb …, sampailah kita di sana.
“Menulislah dengan keberanian,” kata Pram. Ditulis ciamik pada deretan bambu-bambu yang terpampang sebagai salam selamat datang.
Bukannya Nulis Malah Ngobrol :D |
Lantas, ketika saya menatap lekat poster Ernest, Hugo dan Franzkafka. Saya merasakan sebuah dejavu. Tiba-tiba saya berada dalam ruangan kampus fiksi yang sudah dimulai ramai.
Pembicara pertama adalah Reza Nufa, penulis novel yang belum lama telah merilis buku kumpulan puisi "Kepada Ma dan Sepiku". Ia melakukan kilas balik (Masa awal ketika dirinya baru mengenal fiksi, novel pertama yang dibaca dan bagaimana tulisan pertamanya). Tentu saya tidak akan menyinggung perihal apa itu fiksi. Saya kira kalian sudah sangat paham. Iya kan, Kak? *pasang muka unyu.
Beberapa poin penting yang saya ingat di antaranya:
- Ide datang di mana saja dan kapan saja. Cacat: ide ibarat embusan napas. Ia jatuh, sekadar lewat dan mudah hilang. Segeralah catat selagi ingat.
- Menulis tidak perlu ada paksaan. Jika memang mood lagi menurun. Berhenti. Isilah dengan browsing, dengerin musik atau makan. Yang jelas, tidak ada hukuman cambuk ketika tulisanmu belum selesai.
- Ketika dirimu sedang belajar menulis. Tulis saja apapun yang ingin kamu jadikan cerita. Tidak perlu mahir dalam teori-teori kepenulisan. Sebab, jika kamu mahir dalam teori dan paham batasan-batasan cerita, kamu akan kesulitan menulis. Cenderung takut untuk menulis.
- Secara keseluruhan, saya menangkap dalam dunia menulis, bakat tidak begitu penting. Latihan, membaca, membaca. Urusan bagus atau tidak, belakangan.
Barangkali ada sebagian rasa syukur saat otak kita melemah akibat kenangan-kenangan buruk yang begitu menghantui. Tapi karena perjalanan di sini belum selesai, rasanya saya ingin memaki sekeras mungkin agar ingatan saya menajam. Terlebih ketika saya menangkap wajah seorang perempuan meringis di depan layar HP. Seolah lensa kameranya telah merubah dirinya begitu menyedihkan. Dan itu mengganggu.
Pembicara kedua adalah sosok yang ditunggu. Tidak lain dan tidak bukan CEO DIVAPress sekaligus rektor Kampus Fiksi Bapak Edi Mulyono, alias Edi Akhiles alias Edi AH Iyubenu. Ia berjalan begitu tegap. Memakai kemeja putih lengan panjang dan tas berbentuk minuman kaleng bertuliskan Converse.
Beliau memberi judul ‘menulis itu penting’ dalam topik pembicaraannya. Namun, tidak banyak yang saya ingat ketika beliau berbicara. Kemungkinan besar waktu yang terus berjalan, ruangan yang berkeringat terutama perut yang semakin mengkerut akibat lapar.
Selfie (Reyhan, Nay, Heri) |
Di antara poin yang saya ingat adalah:
- Perbaiki niat awal menulis. Jika menulis hanya untuk terkenal—diajak selfie di mall, banyak yang minta tanda tangan. Atau menulis hanya ingin menjadi kaya, sebaiknya berhenti menulis. Carilah pekerjaan yang realistis. Terutama kita di Indonesia. Minat baca yang begitulah.
- Pertajam sudut pandangmu, sebab itulah yang menjadikan tulisanmu berbeda. Sekalipun dalam masalah tema itu-itu saja.
- Tidak perlu meributkan apakah novel sastra itu lebih baik dari pada novel pop. Karena bagaimanapun dua hal tersebut sama-sama mempunyai porsi pembacanya.
- Jangan mengkotak-kotakkan tulisanmu ketika sedang belajar menulis. Seiring dengan berjalannya waktu, tulisanmu akan membentuk karakternya sendiri.
- Nama pena itu agak penting. Pikirkan matang apakah lima atau sepuluh tahun lagi ketika nama penamu di sebut. Kan, agak ironis ketika nama ‘Vivi Imut’ ternyata sudah berumur lima puluh tahun. Dalam hal ini saya tidak bisa menahan tawa.
Itulah hal-hal yang saya ingat. Mungkin masih banyak pundi-pundi tips menulis yang bertebaran dan tidak saya ingat. Akan tetapi, sekiranya cukup sekian. Saya dan kawan saya agaknya tergoda dengan lapis-lapis coklat yang tersaji di atas meja. Terima kasih Pak Edi, semoga niat baikmu mendapat pahala yang berlipat ganda.
--Heri Sutrisno
Labels:
Kegiatan
Wah...😍😍😍
ReplyDeletewahhh hahaha terima kasih sudah berkunjung
ReplyDelete