Mencari Episode Raden Saleh di Situs Purbakala Patiayam

 

Sabtu, 11 Oktober 2025, direncanakan akan digelar bedah buku Pangeran dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Efendi di Kudus. Novel ini diterbitkan ulang pada tahun 2025 dengan sampul baru serta penyempurnaan isi dari edisi 2020.

Di Kudus, nama Raden Saleh tercatat pernah mengunjungi Situs Purbakala Patiayam pada era kolonial bersama Frans Wilhelm Junghuhn. Keterangan itu dikutip dari: Leakey, R.E. & L. Jan Slikkerveer. 1995. Pithecanthropus. Richard Leakey Foundation for Anthropological Research. Nederland: Chevalier Holland Printers, hlm. 89. Buku tersebut telah diterjemahkan oleh Bambang P. Jatmiko dengan judul Pithecanthropus: Kisah Manusia Purba dari Indonesia, Penemunya Dubois, dan Arti Penemuan Itu bagi Asal-Usul Manusia. Buku ini mungkin kategori langka, kita butuh keberuntungan untuk bisa membacanya.

Dalam buku The Glamour of Strangeness: Artists And The Last Age of The Exotic karya Jamie James (2016) diawali dengan biografi Raden Saleh dengan judul "Pangeran dari Jawa", disana tertulis: "Pada 1865, ..... , Raden Saleh memimpin ekspedisi lapangan di Jawa untuk mengumpulkan fosil, salah satu kegiatan paling populer bagi ilmuwan amatir abad ke-19. Ia kemungkinan besar mempelajari dasar-dasarnya dari Cotta saat mereka bertemu di Maxen.

"Satu dekade sebelum penggalian besar fosil dinosaurus dimulai di Amerika Serikat bagian barat, Raden Saleh mengadakan ekspedisi di dekat Yogyakarta setelah mendengar laporan dari petani setempat bahwa mereka menemukan tulang besar terkubur di ladang. Ia mengirim penjelasan rinci kepada ketua Bataviaasch Genootschap (Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia) tentang temuannya, termasuk fosil tulang hiu purba sepanjang dua puluh kaki, yang ia identifikasi sebagai Carcharodon megalodon. Dua bulan kemudian, saat menjelajah di hutan jati, ia menemukan fosil sisa-sisa mastodon. Dalam laporannya kepada perkumpulan itu, ia menulis, “Saya kira melihat sepotong kayu menonjol dari tanah di sebuah lembah kecil. Ketika saya mendekat, saya sadar bahwa itu bukan kayu, melainkan tulang. Saya minta digali dan ternyata panjangnya sekitar sembilan kaki. Saya melihat tulang lain di dekatnya, yang terbesar berdiameter sekitar sepuluh jempol.” Surat itu dilengkapi gambar-gambar rinci temuannya. Perkumpulan itu, yang memiliki pandangan lebih tercerahkan daripada para tuan tanah dan birokrat kolonial, terkesan: setelah ia kembali ke Batavia membawa spesimennya, Raden Saleh diangkat sebagai anggota kehormatan—satu-satunya pribumi yang mendapat kehormatan itu selain dua pangeran Jawa (yang benar-benar berdarah bangsawan)."

Beberapa sumber internet menyebutkan bahwa Raden Saleh berkunjung ke Kudus pada tahun 1857. Jika benar, berarti delapan tahun sebelum ekspedisinya mengumpulkan fosil-fosil.

Kita beranjak membuka novel Pangeran dari Timur (2025) yang tebalnya 770 halaman, saya memilih membaca bagian tentang Raden Saleh lebih dulu, setelah sebelumnya melihat ulasan dari Ivan Lanin di Medium. Novel ini terbagi ke dalam dua alur: kisah Ratna dan kisah Raden Saleh.

Membaca halaman demi halaman, pembaca bisa saja terjebak oleh dialog-dialog panjang dan deskripsi suasana yang kadang mengundang kantuk. Meski begitu, dibandingkan narasi Jamie James, novel ini lebih imajinatif. Beberapa bagian terasa menarik, misalnya ketika Raden Saleh dituduh sebagai dalang pemberontakan. Ada pula kisah orang yang berwajah mirip Raden Saleh (lihat Bab Kuda Pacu dan Bagal).

Sayangnya, bagian tentang pengumpulan fosil oleh Raden Saleh hanya muncul sekilas dalam bentuk potongan dialog kecil. Tidak ada pengembangan imajinatif sebagaimana pada bagian ketika ia dituduh pemberontak.

Dalam novel yang dikerjakan selama 20 tahun ini, episode kunjungan Raden Saleh ke Patiayam tidak ditemukan. Mungkin kedua penulis belum mengetahui data tersebut, atau bisa saja sengaja tidak mengembangkannya karena tidak sejalan dengan fokus cerita, yakni kisah cinta Ratna dengan Syamsudin dan Syafi’i pada masa pergerakan.

Padahal, pada masa Raden Saleh melakukan penggalian fosil, ada pula isu lain yang menyebutkan ia menghancurkan Candi Simping pada tahun 1866. Jika saja peristiwa ini dikembangkan, tentu tak kalah menarik dibanding tuduhan pemberontakan. Bagi pembaca asal Kudus, ketiadaan Situs Purbakala Patiayam dalam novel ini terasa seperti ada episode yang hilang.

Dulu yang berusaha mengolah sastra dan arkeologi adalah Kris Budiman, diantaranya lewat novel Lumbini (2006). Ia bertualang bersama para ahli, kamera di tangannya menjadi saksi, dan catatan perjalanan itu ia ubah menjadi puisi serta cerita. Upaya semacam itu menunjukkan bahwa pertemuan antara sastra dan pengetahuan arkeologi bisa membuka ruang imajinasi baru, ruang yang sebenarnya juga bisa dihadirkan dalam kisah Raden Saleh dan Patiayam.

Barangkali inilah yang coba "ditinggalkan" novel Pangeran dari Timur, ada potongan puzzle yang belum sempat dituliskan Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Fosil-fosil di situs Purbakala Patiayam yang "cikal bakalnya" dimulai dari kunjungan Raden Saleh seakan masih menyimpan rahasia. Dan setiap kali kita masuk ke museum melihat fosil gading gajah Stegodon Trigonocephalus ukuran 3 meter itu, kita seperti mendengar kembali suara pelan dari abad lalu, menunggu untuk dihidupkan lewat cerita.

*) Arif Rohman,  Penulis bergiat di Komunitas Fiksi Kudus (Kofiku)


Daftar Bedah Buku Pangeran dari Timur: https://s.id/PdT_ootbkudus