Bahasa dan Sastra: Pilar Penjaga Jiwa Bangsa
Di tengah derasnya arus globalisasi, bahasa sering kali diperlakukan layaknya benda sekali pakai: digunakan untuk kebutuhan sesaat, lalu diabaikan tanpa penghormatan. Ungkapan seperti terima kasih, hatur nuhun atau selamat datang, sugeng rawuh, yang sarat makna budaya, kini jarang terdengar. Sebaliknya, sapaan seperti thanks atau welcome semakin mendominasi. Fenomena ini mencerminkan lebih dari sekadar pergeseran gaya komunikasi; ini adalah ancaman nyata terhadap identitas budaya.
Ketika kosakata lokal mulai tergantikan istilah asing, kita tidak hanya kehilangan kata-kata, tetapi juga makna, nilai, dan kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Berapa banyak kata-kata klasik kita yang kini tersingkir oleh istilah-istilah asing yang seolah lebih bergengsi? Apakah kita sadar bahwa dengan membiarkan ini terjadi, kita sedang merobek-robek akar budaya kita sendiri?
Pergeseran ini paling nyata terlihat dalam percakapan sehari-hari generasi muda. Kalimat seperti, "Gue bener-bener nggak ngerti, kayaknya lo harus explain deh," atau, "Thank you banget, bisa di-arrange nggak?" menjadi bukti nyata infiltrasi bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, bahasa Indonesia memiliki kata-kata seperti "jelaskan" dan "atur" yang kaya makna. Lebih ironis lagi, media sosial turut mempercepat erosi ini. Istilah seperti self-love, healing, atau vibes sering digunakan tanpa mempertimbangkan padanannya yang tak kalah kuat dalam bahasa Indonesia.
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi dan rangkaian kata. Ia adalah ruh yang menghidupkan sebuah bangsa. Melalui bahasa, kita merekam sejarah, menyampaikan mimpi, dan mengikat makna-makna luhur yang menjadi landasan kehidupan. Di sisi lain, sastra adalah penjaga jiwa bangsa—sebuah medium yang merekam, menginspirasi, dan merevolusi cara pandang manusia. Melalui sastra, kita memahami kompleksitas kehidupan, menanamkan empati, dan membangun imajinasi kolektif.
Karya-karya besar seperti puisi Chairil Anwar atau novel Pramoedya Ananta Toer bukan hanya cerminan perjuangan, tetapi juga ajakan untuk memahami jati diri sebagai bangsa Indonesia. Sastra tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga menggugah kesadaran kita sebagai manusia. Tidak hanya tentang estetika, tetapi juga kekuatan untuk memengaruhi, mengubah, bahkan merevolusi cara kita memandang dunia.
Sayangnya, di era modern ini, sastra lokal menghadapi berbagai tantangan: rendahnya minat baca, minimnya apresiasi terhadap karya lokal, dan dominasi sastra asing. Menurut data UNESCO, indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001%—angka yang mengkhawatirkan. Generasi muda lebih akrab dengan tokoh-tokoh fiksi asing daripada epos-epos Nusantara. Buku sastra lokal sering kalah pamor dibandingkan novel terjemahan. Ketika film adaptasi karya asing menjadi viral, bukunya laris manis. Sebaliknya, karya monumental seperti Laskar Pelangi atau Bumi Manusia hanya menarik perhatian sesaat setelah diadaptasi ke layar lebar. Mengapa antusiasme itu tidak berlanjut? Apakah ini berarti apresiasi kita terhadap karya lokal hanya sebatas euforia sesaat?
Seandainya bangsa ini diibaratkan pohon raksasa, maka bahasa dan sastra adalah akar-akarnya yang menghujam ke dalam tanah. Tanpa akar yang kokoh, pohon itu tak akan bertahan. Keduanya bukan sekadar medium komunikasi atau hiburan, tetapi penjaga esensi, nilai, dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Namun, sadarkah kita bahwa akar-akar ini mulai tergerus? Bagaimana mungkin bangsa yang megah ini tetap berdiri kokoh jika akarnya sendiri mulai terabaikan?
Bahasa Indonesia dengan keunikan dan kekayaannya, adalah warisan yang tidak ternilai. Dalam setiap kata terkandung perjuangan, dalam setiap kalimat tersemai cita-cita para pendahulu. Namun, sistem pendidikan kita sering memperlakukannya secara mekanis: diajarkan untuk lulus ujian, bukan untuk mencintai dan menghayatinya.
Lebih jauh lagi, kita harus menyadari bahwa bahasa dan sastra tidak bisa dipisahkan dari kebijakan dan sistem pendidikan. Di sekolah, bahasa Indonesia sering diajarkan dengan pendekatan mekanis yang menjemukan. Sastra dianggap sebagai pelengkap semata, bukan kebutuhan utama. Padahal, pengajaran bahasa dan sastra seharusnya menjadi ruang kreatif untuk melatih nalar kritis, empati, dan kebanggaan terhadap identitas bangsa. Sistem pendidikan yang gagal menanamkan cinta terhadap bahasa dan sastra adalah sistem yang gagal membangun generasi yang berakar kuat.
Tidak cukup hanya menyalahkan generasi muda atas minimnya apresiasi terhadap bahasa dan sastra. Kita perlu bertanya: apa yang telah dilakukan oleh pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat untuk melestarikan kekayaan ini? Dukungan terhadap penulis lokal, penerjemahan karya sastra Indonesia ke berbagai bahasa, dan penghargaan terhadap pelaku seni sastra harus menjadi prioritas. Jika tidak, bahasa dan sastra kita hanya akan menjadi artefak sejarah, bukan entitas yang hidup dan berkembang. Untuk mengatasi hal ini, pendidikan bahasa dan sastra perlu dirancang ulang agar lebih menarik dan relevan bagi generasi muda. Maka, apa yang harus dilakukan untuk menghidupkan kembali bahasa dan sastra di tengah generasi muda? Beberapa langkah strategis dapat diambil:
Pendekatan Kreatif: Guru perlu dilatih untuk mengajarkan bahasa dan sastra dengan cara yang interaktif dan menyenangkan, seperti diskusi karya, pertunjukan sastra, atau adaptasi digital.
Pemanfaatan Teknologi: Media sosial, aplikasi, dan platform streaming harus dimanfaatkan untuk mempromosikan karya sastra lokal serta memperkenalkan kekayaan kosakata bahasa Indonesia.
Kampanye Kebanggaan Berbahasa: Pemerintah dan komunitas perlu mengadakan festival bahasa dan sastra atau tantangan penggunaan kata klasik di media sosial.
Dukungan untuk Penulis Lokal: Perlu ada peningkatan akses terhadap karya lokal, termasuk penerjemahannya ke bahasa asing, serta penghargaan yang layak bagi penulis dan seniman sastra.
Regulasi yang Mendukung: Kebijakan yang memperkuat posisi bahasa Indonesia di ruang publik harus diterapkan tanpa menafikan keberadaan bahasa asing sebagai pelengkap.
Pembentukan Komunitas Sastra: Komunitas inklusif dapat menjadi ruang bagi generasi muda untuk berbagi, belajar, dan menciptakan karya relevan yang sesuai zaman.
Bahasa dan sastra adalah cerminan jiwa bangsa. Ketika keduanya dikesampingkan, kita kehilangan sebagian dari jiwa kita. Bangsa tanpa bahasa yang kokoh dan sastra yang hidup adalah bangsa yang tanpa arah. Kita mungkin tetap berdiri, tetapi kehilangan makna.
Mari kita mulai dari langkah kecil: gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baca dan apresiasi karya sastra lokal, serta kenalkan kekayaan budaya ini kepada anak cucu kita. Dengan menjaga akar bangsa tetap kokoh, kita memastikan pohon besar ini akan terus tumbuh menjulang, memberikan keteduhan berupa keadilan sosial, harmoni budaya, dan kebanggaan yang diwariskan kepada generasi mendatang. Sebaliknya, jika akar itu dibiarkan rapuh, tidak ada yang bisa menjamin ke depannya pohon ini akan tetap tumbuh. Bahasa dan sastra adalah pilar penjaga jiwa bangsa. Merawatnya adalah tanggung jawab kita bersama.
Siti Nur Hasisah (Instagram: @jijjah_13)
Penulis dan pengajar di SMP 1 Jekulo. Ia aktif berkegiatan Kelas Menulis Kofiku (Komunitas Fiksi Kudus) di Perpustakaan Daerah Kabupaten Kudus.