Menulis Itu Bullshit



Ada perasaan kurang nyaman membaca judul di atas. Ya, kita lalu membayangkan gambaran mental yang menyakitkan dari judul di atas. Tapi, begitulah kenyataannya, sejak zaman Aristoteles manusia selalu tertarik dan mengambil tindakan  atas dorongan dua hal, yakni hal yang menyakitkan dan hal yang menyenangkan, hal yang menjadi masalah, dan hal yang memecahkan masalah. Dua hal ini dieksploitasi, dielaborasi, dimanipulasi, dimonetisasi hingga sedetil-detilnya dan lahirlah berbagai jenis atau genre tulisan, storytelling, copywriting, presentasi, negosiasi, dan… penipuan berkedok investasi.


Menulis memang sering dianggap omong kosong alias bullshit, namun di balik itu tersimpan kekuatan luar biasa yang mampu menggerakkan dunia. Tulisan adalah alat. Seperti pisau, ia bisa menyelamatkan atau melukai. Ia bisa menyebarkan kebenaran atau menanamkan kebohongan. Semua tergantung pada siapa yang memegangnya dan bagaimana ia digunakan.


Para terkenal menggunakan pisau itu untuk melakukan hal-hal besar. Agatha Christie menulis cerita detektif yang menghipnotis jutaan pembacanya, Dan Kennedy menciptakan copywriting yang super powerful, Steve Jobs membuat presentasi yang membuat Apple menjadi mendunia, dan Soekarno membakar semangat rakyat Indonesia menyala-nyala dengan pidatonya.


Setiap rasa sakit dan setiap permasalahan selalu menghasilkan peluang untuk tumbuh, belajar, dan menemukan solusi. Dalam setiap kesulitan tersembunyi pelajaran berharga yang dapat mengubah cara kita melihat dunia dan diri sendiri. Ketika kita menghadapi rasa sakit, kita dipaksa untuk mengevaluasi ulang prioritas, memunculkan kreativitas, dan menemukan kekuatan yang mungkin sebelumnya tidak kita sadari.


Selain itu, setiap permasalahan membuka jalan bagi kreativitas. Banyak karya besar lahir dari dorongan untuk mengatasi masalah tertentu. Rasa sakit menjadi pemantik perubahan yang membawa kita ke arah yang lebih baik. Rasa sakit adalah guru yang keras, tetapi hasilnya sering kali tak ternilai harganya.


Sayangnya, sungguh tidak adil bagi rasa kemanusiaan kita, jika kita selalu berangkat dari rasa sakit yang berkonotasi negatif. Seperti judul di atas.

 

Ya. Menulis memang tidak penting.


Bayangkan, ada dua toko buku online yang sama-sama menjual novel dengan, judul, harga, dan kualitas yang sama dan di marketplace yang sama dengan jumlah trafik yang sama pula. Itulah komponen yang penting: produk, marketplace, harga, dan trafik.


Toko pertama hanya menampilkan gambar buku tanpa deskripsi atau copywriting yang menarik. Sedangkan toko kedua menulis deskripsi penuh emosi yang langsung menghipnotis calon pembeli:

"Bayangkan kamu sedang membaca novel ini di sore hari yang tenang, ditemani secangkir teh hangat. Setiap halaman membawa kamu ke dunia lain, penuh misteri, cinta, dan kejutan yang membuatmu sulit meletakkannya. Novel ini bukan hanya cerita—ini adalah pengalaman yang akan kamu kenang selamanya."


Hasilnya?


Toko kedua menjual lebih banyak buku meskipun produknya sama. Mengapa? Karena kata-kata memiliki kekuatan untuk menciptakan rasa ingin tahu, membangun imajinasi, dan memancing emosi pembeli. Di dunia digital, deskripsi dan copywriting bukan sekadar tambahan, melainkan kunci utama untuk memenangkan hati pelanggan. Jadi, mana yang akan kamu pilih: toko yang membiarkan buku berbicara sendiri, atau toko yang membuat buku terasa hidup bahkan sebelum kamu membacanya?


Menulis memang tidak penting tapi dia adalah kunci yang mendatangkan penjualan, yang menjadi variabel for making money.


Menulis menjadi kunci untuk memenangkan hati audiens. Agar Anda bisa menjadi penulis yang memenangkan hati pembaca, Anda hendaklah membaca Agatha Christie, Enid Blyton, Sidney Sheldon (Anda mungkin belum lahir ketika mereka terkenal), maka, percayalah pada saya, sambil membayangkan bahwa karya-karya mereka memang sangat menghinosis. Tapi, yang terpenting Anda harus menjadi diri Anda ketika menulis, bukan menjadi Agatha Christie, Enid Blyton, atau Sidney Sheldon. Intinya, menulislah yang menghipnotis sebagai diri Anda sendiri.


Buku Hypnotic Writing karya Joe Vitale mungkin bisa membantu untuk menemukan caranya. Tapi, selalu saja mengetahui saja tidaklah cukup tanpa melakukan. Menulis adalah skill, belajarnya harus dengan melakukan. Mungkin lebih tepat menggunakan kata berlatih daripada belajar. Sampai akhirnya Anda bisa benar-benar memahami psikologi manusia yang menjadi pembaca Anda.


Sebagaimana menghipnotis klien, menulis haruslah juga bisa membuat pembaca rileks, menikmati, lalu mereka mengalir hanyut dalam kesadaran di bawah sadarnya. Semua keinginan egonya terpenuhi dan merasakan kenikmatan yang seolah datang dari dirinya sendiri, tanpa paksaan. Itulah esensi dari Hypnotic Writing: menuntun pembaca secara halus menuju keputusan yang kita inginkan, sambil tetap merasa bahwa keputusan itu sepenuhnya milik mereka.


Ketika Anda menulis, bayangkan Anda sedang membangun sebuah perjalanan. Setiap kata, kalimat, dan paragraf adalah langkah-langkah yang membawa pembaca semakin dalam, semakin terhubung dengan apa yang Anda sampaikan. Dari awal yang memikat hingga akhir yang memuaskan, Anda menciptakan sebuah pengalaman yang tidak hanya informatif tetapi juga emosional.


Seperti seorang hipnotis yang tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam, Anda juga harus memahami kapan memberi dorongan halus atau kapan membiarkan pembaca merenungkan maknanya sendiri. Dengan latihan yang konsisten, Anda tidak hanya belajar menulis, tetapi juga mengasah kemampuan untuk memahami kebutuhan, keinginan, dan rasa sakit pembaca Anda—dan dengan begitu, Anda dapat menyentuh mereka pada tingkat yang jauh lebih dalam.


Tulisan singkat ini tentu saja tidak berpretensi untuk memberikan tutorial menulis yang lengkap atau mendalam. Sebaliknya, tujuannya lebih kepada memberikan gambaran atau pemahaman dasar tentang cara memulai atau memperbaiki keterampilan menulis secara umum.


Kita sudah mempelajari hal-hal mendasar dalam menulis sampai ujung tahun ini dan akan melanjutkan ke topik yang lebih kompleks pada tahun depan. Dengan dasar yang sudah dikuasai, kita dapat mulai menggali lebih dalam tentang teknik menulis yang lebih kreatif dan efektif, serta mengembangkan gaya tulisan masing-masing.


Saya tetap pada tujuan awal yakni menulislah untuk memenangkan hati pembaca dan tentu menghasilkan uang dari sana. Jangan menulis untuk memuaskan ego pribadi atau sekadar mencari pujian, karena yang terpenting adalah bagaimana tulisan kita dapat memberikan manfaat, menginspirasi, atau bahkan mengubah pandangan pembaca.


Bolehlah mereka bilang: menulis itu bullshit, menulis itu sekedar omong kosong, tapi kita melakukannya dengan ‘pikiran’ yang tidak kosong.


Sampai jumpa di kelas menulis tahun 2025.


*) Penulis Jimat Kalimasadha, Cerpenis & Esais