Materi

[Materi][twocolumns]

KUDUS DALAM LOMBA CIPTA PUISI KOFIKU

KUDUS DALAM  LOMBA  CIPTA PUISI KOFIKU

[Catatan Pendek Sebuah Pertanggungjawaban Juri]


komunitas fiksi kudus
Mukti Sutarman Espe (Juri Lomba Cipta Puisi Kofiku 2017) - Foto oleh Brilian

Pembuka

Kapan pun, setiap kali diminta jadi juri cipta puisi, saya selalu dibayangi pertanyaan tunggal; bagaimana sih puisi yang baik itu? Apakah seperti  puisinya Rendra? Puisinya Sapardi Djoko Damono? Puisinya  Goenawan Mohamad? Puisiya Sutardji Calzoum Bachri? Puisinya Afrizal Malna? Puisinya Gus Mus?

Maman S. Mahayana, kritikus sastra, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dalam bukunya “Jalan Puisi” menyimpulkan, puisi yang baik mesti memperlihatkan 4 karakterisasi. Pertama, kesatuan dramatik (dramatic unity), yaitu bersatupadunya semua unsur yang membangun puisi; kedua, sikap (attitude), yaitu perasaan si penyair dalam menghadapi objek puisinya. Dalam hal ini, bagaimana penyair menghayati dan menyatu dengan objek. Jadi, subjek-objek lebur dalam kesatuan puisi. Sikap penyair dapat kita tangkap lewat pernyataan verbal, seperti ironi, metafora, paradoks, simbolisme, atau majas lain; ketiga, pernyataan emosional yang diwujudkan melalui bahasa konotatif; keempat, Irama dan bunyi yang dibangun melalui kemampuan pilihan kata atau diksi.

Sapardi Djoko Damono, salah seorang penyair terkemuka negeri ini, dalam bukunya “Bilang Begini Maksudnya Begitu”  kurang lebih menyatakan, puisi  dikatakan baik bila berisi bunyi dan gambar. Bunyi dan gambar itu dihasilkan oleh ketepatan penggunaan perangkat bahasa pendukung puisi, seperti diksi, rima majas, dan citraan. Puisi adalah mahkota bahasa. Puisi adalah hasil yang dicapai jika seseorang mampu bermain-main dengan bahasanya. Apa yang ditulis penyair tidak serta merta bisa diartikan secara harfiah. Gerimis bukan berarti hujan, dan bunga belum tentu berarti kembang. Kerap penyair bilang begini, tapi maksudnya begitu.

Pendek kata, berbagai teori tentang batasan puisi yang baik sudah banyak ditulis. Namun pada akhirnya segalanya terpulang pada cita rasa masing-masing  individu. Bagi yang suka puisinya Rendra tentu mengatakan bahwa puisi yang baik adalah puisi yang seperti karya Rendra, yang suka puisinya Goenawan Mohamad pasti juga bilang begitu, dengan mengganti nama Rendra dengan nama yang disebut terakhir. Demikian, pun  untuk  penyuka puisi-puisi penyair idola lainnya.  Maka tersebab  itulah sangat bisa dipahami jikalau dalam lomba cipta puisi–bahkan lomba seni apa pun- banyak orang berpendapat bahwa penilaian cenderung bersifat subjektif, selaras dengan selera juri.

kofiku
Fadlillah Rumayn (juara 1) dan Rhy Husaini (juri) - Foto oleh Brilian

Puisi-Puisi Lomba Kofiku 

Lalu bagaimana dengan puisi-puisi yang diikutsertakan dalam lomba Kofiku?  Sebanyak  106 puisi masuk ke email panitia. Puisi sejumlah itu  dapat dipilah menjadi 3 kelompok;  1. Kelompok puisi yang sama sekali bukan Kudus, maksudnya  puisi-puisi yang tidak bertema Kudus; 2. Kelompok puisi yang agak Kudus, dalam arti, secara tersurat maupun tersirat, Kudus hanya disisipkan sebagai tema; 3. Kelompok puisi yang sungguh Kudus, yakni Kudus benar-benar dijadikan isi atau ruh puisi.

Apa boleh buat, demi menaat-asasi ketentuan lomba, puisi-puisi yang masuk kelompok pertama (16 puisi) dengan berat hati mesti dikesampingkan alias tidak dinilai. Agak disayangkan jadinya sebab dampak susulannya 17 puisi itu, oleh panitia, terpaksa tidak diikutsertakan dalam buku antologi ini.
Jauh hari, kapan kali pertama panitia menyampaikan hasrat mengadakan lomba cipta puisi bertema Kudus, saya sudah memprediksi, karya  yang diikutsertakan lomba  pastilah puisi-puisi yang kebanyakan menempatkan Kudus tak lebih sebagai beranda, sebagai kulit, sebagai jasad, semata.

Dan begitu menerima  dan membaca copy-an 106 puisi yang masuk, prediksi saya ternyata menemu kebenarannya. Hampir sekitar delapan puluh  persen puisi-puisi karya peserta lomba  menempatkan Kudus hanya sebagai beranda, sebagai kulit, dan atau  jasad saja. Kudus hanya ditangkap sebagai sesuatu yang  kasat mata. Alhasil, tidak mengherankan jika kemudian lahir puisi-puisi yang agak Kudus itu.

Coba cermati puisi berjudul “Harapan” di bawah  ini, 

Segenggam harapan untuk kota kelahiran
Tetaplah menjunjung tinggi semboyanmu
Kudus semarak keadilan terarah
Jangan kau batukan hukum karena ego orang serakah
Yang dibawah tetap kau rengkuh
Karena kau, kota sejuta makna

Atau puisi  ini,

Belajar pada Kota
Beragam agama dan budaya mengakar
Toleransi terjaga tak terlihat samar
Jiwa-jiwa berbaur tak tampak pudar
Damai mendamaikan luruh berbinar
Wajah riang senyum ramah itu wajar
Selalu ada tempat bersandar
Melangkahlah, pelan hingga tak terkejar
Terima kasih atas keramahanmu kotaku
KUDUS

Apa yang salah pada kedua puisi di atas? Tidak ada salahnya! Hanya saja, menurut saya, Kudus dalam kedua puisi itu sekadar disisipkan sebagai kata penghias, ornamen, asesori, yang dipasang hanya untuk memenuhi persyaratan lomba.  Kudus, dengan kekayaan ragam  sejarahnya, budayanya, filosofinya, kredo dan daya juang tokoh-tokohnya,  mitos-mitosnya, kulinernya, destinasi wisatanya,  tidak atau belum dieksplor menjadi objek sentral. Kudus belum digarap menjadi ruang dalam, belum diposisikan sebagai  ruh.  Andai frasa Kudus semarak pada larik ketiga pada puisi pertama  diganti dengan frasa Pati bumi minatani, dan kata Kudus yang ada di baris terakhir puisi kedua diganti dengan Semarang, Lasem atau nama kota lain, sama sekali tidak berpengaruh apa pun bukan? Kedua puisi itu serta merta jadi kehilangan jejak Kudusnya bukan? 

Coba kita bandingkan kedua puisi tadi dengan satu bait puisi berjudul  “Jakarta” karya Salvatore Sukmana, siswa SMP Colomadu Boyolali, yang saya ambil dari koran  Kompas, 13 Maret 2005, ini. 

Berkunjung ke kotamu
Ingin kudaku Tugu Monas
Ingin kumeluncur ski di Ancol
Bercanda di Taman Mini yang indah
Sambil menikmati mie ayam khas
Dan sesekali berlari-lari di Stadion Senayan

Semisal puisi di atas tidak diberi judul Jakarta, saya yakin, pembaca  sudah paham bahwa yang diceritakan adalah Jakarta. Mengapa? Sebab  kota  yang punya Tugu Monas, Ancol, Taman  Mini, Stadion Senayan hanya Jakarta bukan  kota lain. Nah, itulah yang dimaksudkan  puisi yang menempatkan sebuah kota sebagai ruh,  sebagai isi, sebagai  ruang dalam, puisi,  bukan sekadar sebagai jasad, sebagai  kulit, dan atau beranda semata. 

Maaf, saya sama sekali tidak mengatakan bahwa puisi  “Harapan” dan  puisi “Belajar pada Kota” yang dicontohkan di atas sebagai puisi yang paling buruk isi. Banyak puisi semacam itu saya jumpai dalam  lomba kali ini. Saya ingin mengatakan, jika diperiksa dari segi karakterisasi puisi yang baik menurut Maman S. Mahayana, maka banyak sekali puisi yang tidak memenuhi karakterisasi itu. 

Sebut perihal sikap atau attitude dan penghayatan emosional, misalnya, dalam menghayati dan menyatu dengan objek puisi (Kudus) banyak peserta lomba-sebut saja  penyair-yang tidak atau belum mampu memanfaatkan kekuatan metafora,  ironi, paradoks, simbolisme, dan majas lainnya.  Pun setali tiga uang dengan penggunaan bahasa konotatif. 

Alhasil, pada hemat saya,  puisi yang tercipta kebanyakan, pinjam istilah anak muda masa kini, berasa  garing. Kata-kata yang digunakan penyair kurang terpilih, miskin kontemplasi. Makna yang ditawarkan penyair cenderung kurang menantang dan tidak berhasil memaksa apresian, pembaca, untuk sejenak bermenung diri, mencari makna yang terkandung di kedalaman puisinya.

Akan tetapi, tidak usah buru-buru pesimis. Masih ada banyak puisi  peserta  lomba cipta puisi Kofiku kali ini  yang  tergolong ke dalam apa yang saya sebut sebagai sungguh Kudus. Hasil bacaan saya, terhadap puisi-puisi kelompok ke-3, setidaknya tercatat sekian puluh  judul puisi; sembilan di antaranya ialah ‘Surat untuk Mak”, “Gusjigang Ajaranku”, “Kota ini Adalah’, “Di Bawah Naungan Kota”, “Kliwon”, “Tempuhan ke Batas Kota”, “Sebagian Arsip”, “Kota Menara”, “Rindu”.

Apakah istimewanya sembilan puisi tersebut? Sila membaca dan mengapresiasinya sendiri.  Dari sembilan judul puisi itu sudah dipilih juga mana puisi yang masuk lima besar. Saya sadar benar bila  pilihan itu mengundang  kemungkinan munculnya  beda pendapat, ketakpuasan bahkan polemik. Tidak apa-apa. Sebagai juri, saya selalu sedia bertanggung jawab atas apa yang sudah saya kerjakan. Sejauh tidak mengubah hasil penjurian, saya membuka diri untuk  diajak berdiskusi bahkan  dikritisi.

Komunitas Fiksi Kudus
MM Bhoernomo (sastrawan Kudus) - Foto oleh Brilian

Penutup

Lomba sudah selesai dan hasilnya sudah ditentukan. Selamat bagi para pemenang. Satu hal, sekiranya ada pihak yang amat layak diacungi banyak jempol, itu tak lain adalah para panitia yang tergabung dalam Kofiku. Dengan bekal semangat berangkap-rangkap  mereka telah berhasil meretas segala keterbatasan yang menghadang. Selamat dan terima kasih Kofiku. Kalian sudah berhasil menghapus kecemasan sebagian orang perihal keberlangsungan dunia tulis-menulis, terkhusus puisi, di Kudus. Kerja kalian sudah cukup berarti.

Harapan saya, seperti kata Chairil Anwar, kerja belum selesai. Belum apa-apa. Semoga, sekali berarti sudah itu (tidak) mati. Selamat berjuang anak muda! Salam.


Mlati  Lor,  14 Juni 2017
Mukti Sutarman Espe

No comments:

Kegiatan

[Kegiatan][bleft]

Karya Kami

[Karya Kami][bleft]

Galeri

[Galeri][twocolumns]