Awal yang Baik untuk Komunitas Fiksi Kudus : Sebuah Ulasan Buku Antologi
Awal yang Baik untuk Komunitas Fiksi Kudus
Oleh Al-Mahfud*)
Judul Buku : Sekawanan Gagak di Jurang Babi Yar
Penulis : Komunitas Fiksi Kudus (KOFIKU)
Penerbit : Kofiku Media
Tahun : Cetakan 1, Oktober 2016
Tebal : 130 halaman
Bagi sebuah komunitas, barangkali hal terpenting yang menggambarkan eksistensinya adalah keberadaan karya. Terlebih untuk komunitas penulis. Komunitas Fiksi Kudus (Kofiku) telah menunjukkan hal tersebut. Di usianya yang baru melewati satu tahun, sebuah buku telah dilahirkan dan menjadi tonggak awal peneguh eksistensi Kofiku itu sendiri—sebagai sebuah komunitas penulis fiksi di Kudus.
Buku Sekawanan Gagak di Jurang Babi Yar berisi 12 cerita pendek yang ditulis para anggota Kofiku, yang berasal dari bermacam kalangan. Untuk sebuah karya pertama sebuah komunitas yang baru sekitar setahun berdiri, Sekawanan Gagak di Jurang Babi Yar telah menunjukkan hal-hal menarik, yang kemudian, paling tidak, memunculkan harapan besar; cerahnya masa depan Kofiku itu sendiri.
Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya beberapa cerpen yang, menurut saya, sudah "matang". Matang di sini, terutama terkait dengan hal mendasar seperti bentukan-bentukan kalimat. Bagaimana pun, cerita terbangun dari kumpulan kalimat-kalimat. Cerita yang bagus, pada dasarnya, terbentuk dari kalimat-kalimat yang bagus (beres secara EYD, efektif, kuat, bahkan indah) “Perbaiki dulu kalimatmu,” kata sastrawan A.S. Laksana. Beberapa cerpen yang sudah matang tersebut, di antaranya Tasseomancy, Sekawanan Gagak di Jurang Babi Yar, dan Cinta untuk Bapak.
Masing-masing cerpen tersebut, di samping sudah matang dalam hal-hal mendasarnya, menurut saya, juga memiliki nilai lebih. Cerpen berjudul Tasseomancy berusaha menyuguhkan aroma sihir dengan latar lokal (Jepara). Sihir di sini lebih mengarah kepada sihir sebagaimana dalam film Harry Potter—yang memunculkan ambisi tokoh Sri untuk meniru apa-apa yang melekat atau menjadi karakter seorang penyihir dalam film tersebut. Alur cerita cukup menarik; beberapa bagian memunculkan ketegangan; permainan teka-teki dari pembacaan tanda yang dilakukan Sri. Karakter tokoh terbentuk cukup kuat karena terbantu oleh penulisnya yang—dari cerpen ini—memang terlihat menggemari film Harry Potter itu sendiri.
Strategi menggarap sebuah cerita dengan tema atau karakter yang kita gemari (kuasai) memang memudahkan kita untuk lebih mendalami dan lebih menjamin kepercayaan diri dalam penggarapannya. Namun, ada hal yang perlu diingat bahwa tak semua orang di luar sana (pembaca secara umum) mengerti dengan semua yang kita sebutkan. Dalam cerpen Tasseomancy, ada beberapa istilah asing yang, mungkin terlewat, tak diberi keterangan (catatan kaki), seperti Dark Lord, Potterhead, wizarding world.
Cerpen Sekawanan Gagak di Jurang Babi Yar—yang dipilih menjadi judul buku ini, mengisahkan seorang lelaki yang masuk regu penembak bernama Jaeger yang dirundung kenangan dan kesedihan karena suatu ketika, dengan tak sengaja, telah menembak dan membunuh kekasihnya sendiri; Azalea. Latar suasana kehidupan di Barat (Jerman?) yang dipilih menunjukkan keberanian penulis. Barangkali sama dengan cerpen yang disinggung sebelumnya, kecenderungan penulis menggarap tema, latar, dan karakter tokoh sesuai kesukaan atau selera, terlihat sangat membantu.
Jika dua cerpen tersebut di atas kuat nuansa “asing” atau Barat-nya, cerpen Cinta untuk Bapak justru mampu menghadirkan hal menarik meski dengan tema dan latar yang ada di sekitar kita. Cinta untuk Bapak menjadi menarik karena di samping sudah kuat dalam hal-hal mendasar, juga mampu menghadirkan perasaan dilema seorang pemuda dengan sederhana, namun cukup mengena dan cenderung bisa diterima semua kalangan pembaca—hal yang belum tentu dimiliki dua cerpen yang diulas sebelumnya.
Unsur kejutan yang juga ditawarkan cukup masuk akal; dengan munculnya sosok Fina, seorang perempuan yang telah didamba Qodir sejak lama, yang ternyata adalah kakak dari Aisya, perempuan yang akan dijodohkan kepadanya. Akhir cerita yang pilu karena Bapak tak menyetujui keinginan Qodir untuk memilih Fina, juga menggambarkan akhir yang tak dipaksakan untuk berujung bahagia.
Di samping cerpen-cerpen tersebut, banyak penulis menggarap cerpen-cerpen percintaan atau persahabatan khas remaja; harapan, penyesalan, cinta yang naif, ketakukan, dll. Meski begitu, setiap cerpen cukup menarik karena hentakan-hentakan cerita seperti dalam cerpen Dua Bulan yang Lalu dengan kejutan di akhir ceritanya, refleksi dan motivasi-motivasi positif bagi remaja yang ditawarkan banyak cerpen: Harapan Semu, Revolusi Cinta, Secret Admirer dan Di Balik Layar Persahabatan, juga ada sedikit kritik tentang apresiasi terhadap seni di masyarakat yang minim dalam cerpen Catatan Sekar Wangi.
Tema-tema yang cukup menarik dan berbeda, bagi saya, ada dalam cerpen-cerpen Kota Putih, Perempuan Pemanggil Gagak, dan Rindu Pagi Waktu Itu. Kota Putih memberi gambaran tentang semacam pengalaman spiritual. Perempuan Pemanggil Gagak berkisah tentang mitos dan tradisi, di mana penulis seperti berusaha memberi isyarat; mengajak pembawa agar lebih jernih dalam memandang takdir dan bisa memaknai tradisi secara lebih bijak.
Cerpen Rindu Pagi Waktu Itu sebenarnya menawarkan pemaknaan yang menarik--bahkan berbeda--tentang pagi. Pagi, biasanya dimaknai sebagai awal, harapan, semangat baru, gairah menjalani hari di depan, dll. Tapi di cerpen ini, pagi justru dilekatkan dengan kenangan—sesuatu yang sudah berlalu. Udara yang sejuk dan sinar matahari yang belum begitu terik, memunculkan ketenangan yang berujung pada kenangan tentang suatu kejadian. Sayangnya, banyaknya typo di cerpen ini cukup mengganggu sehingga kurang bisa dinikmati.
Membaca cerpen-cerpen dalam buku Sekawanan Gagak di Jurang Babi Yar pada akhirnya seperti melihat keragaman. Keragaman dalam konteks ceritanya; selera, tema, gaya bercerita, dll., yang pada gilirannya juga mengisyaratkan keragaman penulis-penulisnya; penulis, mahasiswa, pelajar, dll. Harus diakui keragaman tersebut, di satu sisi juga membuat buku ini menjadi kurang bisa menyuguhkan sesuatu yang konsisten untuk bisa terus dinikmati.
Selain soal keragaman latar penulis, kita tahu, pada dasarnya sebuah buku antologi akan lebih baik jika berisi cerpen-cerpen satu tema, atau paling tidak memiliki benang merah yang sama. Jadi, untuk menghasilkan sesuatu yang positif dari suatu keragaman, tetap membutuhkan penyatu.
Di luar semua itu, seperti yang sudah diungkapkan di awal, untuk sebuah karya pertama sebuah komunitas, Sekawanan Gagak di Jurang Babi Yar bisa dikatakan cukup menjanjikan. Terlebih dengan adanya beberapa cerita, atau penulis, yang sudah matang, paling tidak dalam hal-hal mendasar seperti kesesuaian dengan EYD, bentukan-bentukan kalimat yang beres, penggarapan karakter tokoh, dll., tentu itu bisa diharapkan menjadi penggerak dan penyemangat yang bisa menularkan kemampuan dan pengalamannya kepada penulis-penulis yang lain agar terus berproses ke arah yang lebih positif, sehingga Komunitas Fiksi Kudus (Kofiku) semakin berkembang, melahirkan penulis-penulis berkarakter, dan mampu berbicara banyak di kancah yang lebih luas.
*Al-Mahfud, penikmat fiksi, dari Pati.
Kak Al-Mahfud sedang menyampaikan ulasannya |
Buku untuk Penanya Tercepat |
Berfoto di Depan Foto |
No comments: